Maraknya pornografi dan pornoaksi belakangan ini menjadi sebuah ironi bagi kita yang dari dulu dikenal sebagai masyarakat religius. Dalam kehidupan sehari-hari, merebaknya pornografi dan pornoaksi telah menjadi gangguan berat bagi proses pembinaan moralitas anak-anak dan generasi muda di sekolah.
Dalam kaitan itu, perlu upaya terencana, terkoordinir, dan berkelanjutan dalam mengatasi masalah tersebut. Upaya ini harus dilaksanakan secara tertib hukum dengan melibatkan seluruh unsur karena kegiatan pornografi dan pornoaksi telah sedemikian kuat dan telah menjangkiti industri hiburan, komunikasi, dan fashion.
Dari hasil penelitian di sekolah menengah, ditemukan dua bentuk penyimpangan etika dari pengaruh negatif tayangan pornografi dan pornoaksi media massa terhadap remaja usia sekolah.
Pertama, penyimpangan etika penampilan. Belakangan, para siswa sekolah menengah (SMP dan SMU) kelihatan sulit membedakan cara penampilan yang harus ditunjukkan ketika bertandang ke tempat rekreasi dengan cara penampilan saat ia di lingkungan sekolah.
Di sekolah, misalnya, akan mudah kita lihat pemandangan kemeja para siswa dibiarkan berada di luar celana dan rok para siswinya kelihatan mini. Selain itu, tidak jarang kita saksikan siswa yang mengecat rambut, memakai perhiasan berlebihan, berdandan menor, dan sebagainya.
Kedua, penyimpangan etika bertutur (berbicara). Tidak sedikit jumlah siswa remaja saat ini yang kesulitan membedakan cara berbicara dengan orang yang lebih tua usianya, termasuk dengan guru dan orang tuanya sendiri. Juga kelihatan sulit membedakan cara berbicara di tempat resmi dan tempat bermain. Bahkan materi pembicaraan yang menyerempet sarkasme dan porno gampang begitu saja keluar tanpa beban dari mulut para remaja sekarang. Ketiga, penyimpangan etika pergaulan. Dalam hal pergaulan, para remaja juga sangat sulit melakukan seleksi teman bergaul. Akibatnya, tidak sedikit remaja yang terlibat berbagai tindak kriminal seperti menjual narkoba, pratik seks bebas, tawuran antarpelajar, mencuri, dan sebagainya.
Pengaruh tayangan
Banyak kalangan menuding tayangan pornografi dan pornoaksi dari media massa yang tanpa aturan sebagai penyebab utamanya. Sinetron-sinetron remaja yang marak diputar hampir di seluruh stasiun televisi, misalnya, banyak menunjukan adegan-adegan yang tidak santun dalam berpakaian, sikap, termasuk cara bertuturnya. Akibatnya, muncul perilaku konsumtif, materialis, egois, termasuk perilaku semau gue pada diri remaja. Adegan-adegan yang ditampilkan dalam sinetron menjadi model yang begitu gampang ditiru para remaja ketimbang mengikuti apa yang diajarkan para guru di sekolah dan orang tua di rumah. Tidaklah salah kalau ada ungkapan bahwa televisi saat ini telah menjadi sekolah utama bagi sebagian besar para remaja, sedangkan sinetron remaja merupakan pelajaran favorit mereka. Jika kita jujur, rendahnya mutu pendidikan kita belakangan ini lebih disebabkan tidak selektifnya berbagai informasi yang dikonsumsi siswa didik di bawah umur.
Maraknya penjualan dan rental VCD porno, serta menjamurnya berbagai tayangan pornoaksi di media elektronik yang hanya berorientasi bisnis semata seperti pameran aksi goyang ngebor dan ngecor di acara dangdut hingga adegan-adegan porno di berbagai sinetron remaja, justru menggiring para siswa untuk sejak dini menikmati hal-hal yang seharusnya belum saatnya mereka konsumsi.
Jika dulu ada klasifikasi film 17 tahun ke atas, maka saat ini tidak ada lagi klasifikasi (batasan) usia dalam menonton sebuah film. Seolah atas nama kebebasan, di depan layar televisi semua --anak-anak sampai orang dewasa-- mempunyai hak yang sama.
Kondisi ini mengakibatkan para remaja ikut berubah cara pandangnya tentang sekolah. Jika dulu sekolah dianggap sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan dan pembentuk akhlak, sekarang persepsi itu telah diubah menjadi 'sekolah adalah tempat bersenang-senang', tempat mengisi waktu luang, bahkan tempat berpacaran semata. Cara pandang ini muncul karena yang mereka saksikan di sinetron lebih banyak adegan berpacarannya ketimbang aktivitas belajar, walaupun setting filmnya adalah ruang kelas. Pada tataran inilah teriakan nihilisme muatan moral dalam tayangan film remaja termasuk berbagai bentuk tayangan lainnya di media elektronik layak dikemukakan.
Dunia baca berkurang
Akibat negatif lain tayangan-tayangan itu, dunia baca menjadi kurang diminati para siswa. Pekerjaan rumah seharusnya dikerjakan di rumah, tapi siswa menghabiskan waktunya di rumah dengan menonton sinetron. Maraknya berbagai sinetron remaja --baik produksi dalam negeri maupun film-film terjemahan dari Cina, India, Korea, Jepang, dan Hongkong-- belakangan ini sudah seharusnya diwaspadai. Penulis skenario film telah mematok target para siswa remaja sebagai pasar film paling laris. Target berikutnya ditetapkan para perancang mode yang menciptakan desain pakaian yang tidak mempertimbangkan sisi negatifnya bagi anak remaja.
Dalam kaitan itu, maka aspirasi publik yang menginginkan hadirnya sebuah UU Antipornografi dan Pornoaksi perlu direspons. UU ini diharapkan akan memberi kekuatan hukum dalam mencegah meluasnya aksi-aksi pornografi dan pornoaksi di masyarakat. Dengan UU yang sama diharapkan sekolah sebagai institusi pendidikan ''bisa diselamatkan dari berbagai aksi porno.'' Dan, mudah-mudahan, dengan UU yang sama, sekolah bukan lagi ruang yang bebas pornografi dan pornoaksi, tetapi benar-benar menjadi institusi pembentuk moralitas yang bebas dari berbagai intrik bernuansa porno.
0 comments:
Post a Comment