Tafsir surat al-Fatihah merupakan tafsir irfani terbaik karya Imam Khomeyni. Dalam karyanya ini, Imam dengan begitu apik berupaya menyingkap matra sufistik yang banyak terkandung dalam ayat-ayat surat al-Fatihah ini. Sebagian darinya akan kita singgung dalam makalah ini:
1. Alhamdulillahi rabbil’alamiin
Dalam menanfisirkan kata “al-hamd”, dijelaskan bahwa, lantaran keberadaan manusia sempurna merupakan tujuan puncak dari tarbiah (pengajaran) ilahi. Maka dari sisi inilah, sehingga Tuhan layak untuk dipuji dan diagungkan. Beliau berkata: “Karena tarbiah aturan alam malak yang merupakan rangkaian dari falak-falak, unsur-unsur, substansi-substansi dan aksiden-aksiden, adalah mukaddimah dari perwujudan manusia sempurna. Maka pada hakekatnya perwujudan insan kamil merupakan inti dari alam nyata dan tujuan puncak dari penciptaan seluruh penghuni alam, itu sebabnya ia merupakan ciptaan yang terakhir. Selain itu, dikarenakan alam malak bergerak dengan gerak substansial yang dzati, dan gerakan dzati selalu menuju kepada kesempurnaan, maka di manapun gerak itu berhingga, di sanalah tujuan penciptaan dan muara perjalanan… karenanya, tarbiah Haq Ta’ala di segenap alam terjelma dalam tarbiah manusia. Manusia adalah yang awal dan yang akhir”.
Selanjutnya masih mengenai tafsir kata al-hamd, di sela-sela paparan beliau tentang tujuan dari perbuatan Tuhan adalah tarbiah manusia. Imam menegaskan juga bahwa tujuan puncak dari penciptaan dan tarbiah manusia adalah Dzat Tuhan, kembalinya manusia ke Tuhan, dijalan Tuhan, dengan perantaraan Tuhan dan menuju kepadaNya.Tentang hal ini Imam menambahkan: “Maksud dari apa yang telah diutarakan adalah dalam aksi-aksi partikulir dan dari sudut pandang tingkatan wujud. Sementara dari sudut pandang perbuatan Tuhan yang mutlak, tidak ada tujuan selain dari Dzat suci… oleh karenanya manusia diciptakan demi Tuhan dan untuk Tuhan… Tujuan perjalanan suluk manusia adalah dalam rangka menuju pintu Tuhan, fana (melebur) dalam DzatNya, ukuf (menepi) di kefanaan dalam Dzat, kembali keharibaan Haq, dariNya, dalam diriNya dan denganNya; seperti diungkap dalam ayat: “Dan sesungguhnya hanya kepada kamilah tempat kembalian mereka“, (al-Ghasyiah:25). Sementara makhluk-makhluk, lain lewat perantaraan manusia mereka kembali kepada Haq Ta’ala, bahkan bisa dikata pula bahwa tempat kembalinya makhluk-makhluk lain adalah manusia, seperti yeng tertera di dalam naskah ziarah jaami’ah ketika menjelaskan derajad pelbagai maqam dan wilayah: “dan kembalinya makhluk adalah kepada kalian serta hisab mereka adalah atas kalian”. ( Imam Khomeyni, Tafsir-e surey-e hamd, hal:43)
Imam saat menjelaskan bahwa tujuan segala pujian adalah Tuhan, selepas menyebutkan ayat “dan sesungguhnya hanya kepada kamilah kembalian mereka kemudian atas kamilah hisab mereka” (al-Ghasyiah:25&26), menerangkan bahwa perjalanan akhir insan kamil adalah Tuhan dan fana dalam DzatNya, ditambahkannya pula: “ayat ini merupakan rahasia dari rahasia-rahasia tauhid, yang mengisyaratkan bahwa tempat kembalinya insan kamil adalah Tuhan, mereka fana dalam Dzat dan baqa (abadi) dalam keabadian Tuhan. Dalam diri mereka tidak ada lagi penampakan eksistensial (ta’ayyun), ke-aku-an dan egoisme, akan tetapi mereka adalah bagian dari asma alhusna dan ismi a’dzam “. (Imam Khomeyni, Tafsir-e surey-e hamd, hal:44).
Beliau menambahkan bahwa al-Quran sarat dengan kajian-kajian irfani yang hanya bisa difahami oleh orang yang mumpuni, yang merupakan puncak rahasia-rahasia yang menjadi sebab keagungan dan kebesaran al-Quran: “al-Quran yang mulia sangat sarat dengan rahasia, hakekat, makna-makna luhur tauhid dimana akal ahli ma’rifat tercengang dengannya dan ini adalah mu’jizat agung lembaran cahaya samawi (al-quran ) “. (ibid.)
Pada poin lain dari penjelasan “al-hamd“, Imam menerangkan bahwa, “adalah tidak benar jika alhamdulillahi rabbil’alamiin hanya diartikan sebagai pujian bagi Tuhan, akan tetapi artinya adalah bahwa pujian tidak akan pernah dipujakan kecuali bagi Tuhan semata”. Ditambahkannya: “Surat al-Fatihah yang terdapat dalam al-Quran dan merupakan surat pertama serta dijadikan bacaan dalam shalat, yang mana tanpa membacanya maka shalat tidaklah sah (Hurru ‘amili, jilid 4, hal.732), adalah sebuah surat yang di dalamnya terkandung segenap pengetahuan; akan tetapi yang perlu ditekankan bahwa kita mesti betul-betul menelaahnya; Memang benar, kita bukanlah ahlinya, kita hanya melafalkan…”alhamdulillahi rabbil’alamin”, artinya segala pujian selayaknya untuk Dia. Akan tetapi al-Quran tidak mengatakan demikian, al-Quran menuturkan bahwa segala pujian tidak akan dipanjatkan kecuali bagiNya sahaja. Para penyembah berhala juga mengklaim bahwa pujian milik Tuhan dan bukan milik mereka. Berarti yang menjadi masalah adalah karena ketidaktahuan serta kebodohan kita“. (Imam Khomeyni, Tafsir-e surey-e hamd, hal. 200)
2. Maaliki yaumiddin
Imam Khomeyni dalam menafsirkan ayat ini menjelaskan bahwa walaupun kepemilikan Tuhan terhadap segala sesuatu dan seluruh alam adalah sama, akan tetapi kepemilikan dalam ayat mulia ini dikhususkan kepada hari kiamat, dengan alasan bahwa hari kiamat adalah hari berkumpulnya segala sesuatu sedang mengenai hari-hari yang lain tentu akan mengikuti hari kiamat tadi. Namun bisa juga diartikan bahwa hari kiamat adalah hari menjelmanya kepemilikan Tuhan. Imam berkata: “’Maliki yaumiddin’, pengkhususan kepemilikan ini boleh jadi dikarenakan yaumuddin (hari kiamat) adalah hari berkumpul (Yaumul Jam’). Dari sini ‘malik’ (yang memiliki) yaumuddin merupakan malik hari berkumpul (seluruh makhluk) juga merupakan malik hari-hari lain yang terpisah-pisah… atau karena hari itu, hari menjelmanya kepemilikan dan kekuasaan Haq ta’ala di hari berkumpul dan hari kembalinya semua makhluk kepada pintu Allah serta membumbungnya semua maujud menuju fana ilahi. (ibid.)
3.Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in
Imam Khomeyni dalam tafsirannya mengenai sebab disebutkannya kata “na’bud” (kami beribadah) dan kata “nasta’in” (kami meminta pertolongan) dalam bentuk kata ganti orang pertama jamak (sighah mutakkallim ma’al ghair), mengisyaratkan kepada tiga rahasia irfani :
Pertama, seorang hamba supaya ibadahnya diterima, ia menggunakan sejenis hilah syar’iyah (jalan pintas syar’i), yaitu dengan cara menyuguhkan ibadah yang dibarengkan dengan ibadahnya seluruh makhluk yang di dalamnya termasuk wali-wali Allah yang mana ibadah mereka niscaya diterima olah Allah swt. Sehingga dengan jalan ini ibadahnya juga bisa diterima. Karena sifat yang maha pemurah (karim) tidak mungkin bersikap diskriminasi dengan menerima yang satu sementara yang lain tidak.
Kedua, lantaran awal disyari’atkannya shalat adalah dengan berjamaah, maka kata-kata ini pun dengan menggunakan bentuk jamak
Ketiga, dikarenakan semua mawjud dan seluruh penghuni alam senantiasa memuji Tuhan. Oleh karenanya secara berjamaah mereka menyembah Tuhan dan dariNya mereka minta pertolongan. Dalam hal ini Imam berkata: “Dalam kandungan alhamdulillah, semua pujian dan sanjungan dari setiap pemuja dan penyanjung di alam malak dan malakut hanya diperuntukan dan dikhususkan bagi Dzat suci Haq… Dan di dalam fitrah semua makhluk terutama dari jenis manusia, ketundukan di hadapan Wujud suci yang maha sempurna dan maha indah telah ditetapkan dan telah menjadi bagian darinya, di haribaan suciNya ketika berupa tanah. Seperti yang diisyaratkan oleh al-Quran: “dan tidaklah segala sesuatu kecuali dia bertasbih dengan memujiNya, akan tetapi mereka tidak memahami/menyadari tasbihnya”. (al-Isra: 44) Serta ayat dan riwayat-riwayat lain dari para maksumin as. yang sarat dengan rahasia-rahasia Ilahi, menguatkan hal ini. Karena sang penempuh jalan Tuhan (salik ila Allah) telah menemukan hakekat ini dengan argumentasi burhaninya, dengan dzauq iman atau dengan penyaksian irfaninya. Dalam setiap maqam yang dicapainya dimana seluruh wujud dan tingkatan keghaiban, serta syuhudnya adalah sebagai hambaNya. Maka bentuk jama’ dalam kata-kata tersebut menjelaskan bahwa seluruh makhluk dalam semua gerak dan diamnya adalah dalam rangka ibadah kepada Dzat maha suci ta’ala dan dariNya mereka meminta pertolongan“. (Imam Khomeyni, Tafsir-e surey-e hamd, hal. 64 )
Dalam hubungannya dengan isti’anah (permintaan tolong) dari Tuhan, Imam berkeyakinan bahwa isti’anah dari selain Tuhan adalah sesuatu yang tidak mungkin. Karena tidak ada kekuatan selain yang dimiliki oleh Tuhan sehingga kita meminta pertolongan dari selainNya. Kalimat iyyaka nasta’in tidak diartikan bahwa kita tidak minta pertolongan dari selain Tuhan, akan tetapi mengandung pengertian bahwa isti’anat (pemintaan tolong) sama sekali tidak akan terjadi melainkan hanya dari Tuhan. Dalam hal ini Imam menjelaskan: “Iyyaka nasta’in tidak bermakna bahwa kami semua minta pertolongan dariMu, dan tidak kepada yang lain. Akan tetapi selain kepada Tuhan sama sekali tidak mungkin ada isti’anah karena tidak akan pernah ada kekuatan selain kekuatanNya. Adakah kekuatan lain yang kita miliki selain kekuatan Tuhan? Adakah sesuatu yang kau miliki yang selain kekuatan Tuhan?! “. (ibid.)
4.Ihdinash-shiratal mustaqim
Imam Khomeyni dalam menjelaskan ayat mulia ini mengisyaratkan kepada noktah lain dari rahasia irfani dengan mengambil ilham dari hadits Nabi saww. “banyaknya jalan menuju Allah adalah sebanyak nafs semua makhluk”. Imam berkayakinan bahwa setiap mawjud masing-masing memiliki jalan khusus, dan hidayah kepada shirat mustaqim memiliki tingkatan-tingkatan, diantaranya: hidayah kepada cahaya fitrah, hidayah kepada cahaya Quran, hidayah kepada cahaya syari’at, hidayah kepada cahaya islam, hidayah kepada cahaya iman, hidayah kepada cahaya yakin, hidayah kepada cahaya irfan, hidayah kepada cahaya mahabbat, hidayah kepada cahaya wilayat serta hidayah kepada cahaya tajrid dan tauhid.
Imam menambahkan bahwa setiap dari tingkatan ini selalu ada dua sisi; ifrath dan tafrith (ekstrim), ghullat (pengagungan yang berlebihan) dan taqshir (pengkerdilan ekstrim). Sementara jalan keselamatan dan lurus adalah jalan pertengahan (yang seimbang). (Imam Khomeyni, tafsir-e-sureye hamd, hal. 77)
Dalam salah satu surat Imam yang berisikan muatan irfani yang ditujukan kepada salah seorang temannya. Imam menyinggung tentang rahasia irfani dari ayat ini. Bahwa segenap manusia jika tidak berada dalam perjalanan menuju surga, maka perjalanannya menuju neraka dan dunia termasuk dari tingkatan neraka. Dikatakan: “Dunia dan apa yang ada di dalamnya adalah neraka yang batinnya akan menjelma di akhir perjalannya, sementara di balik dunia -sampai akhir tingkatannya- adalah surga yang akan menjelma di akhir perjalanan setelah keluar dari bahaya dunia. Saya, Anda serta semua, bisa jadi berjalan menuju lubang neraka ataupun menuju surga dan kembali kepada Tuhan yang maha tinggi… . neraka dan surga adalah buah dari amal manusia. Setiap usaha yang kita lakukan, akan kita petik hasilnya. Fitrah dan penciptaan manusia adalah menuju jalan lurus dan kebaikan, fitrah manusia selalu menuju kebenaran. Akan tetapi kita sendiri yang menyimpang dari fitrah kita, kita sendiri yang menggelar hijab dan menenun tabir “. (Shahifey-e nur. jilid 22, hal. 345)
Kebanyakan karya-karya Imam Khomeyni bernuansakan semacam di atas, cendrung menonjolkan kandungan-kandungan irfani, simbolik, dan penuh isyarat dalam menafisrkan al-Quran.
KESIMPULAN
Imam Khomeyni, dalam menafsirkan ayat-ayat al-quran mengguanakan metode penafsiran irfani, beliau berkeyakinan bahwa ayar-ayat al-Quran memiliki simbol dan isyarat yang hanya bisa dipahami dan dicapai oleh orang-orang khusus. Tafsir surat al-Fatihah merupakan contoh jelas dari penafsiran irfani beliau. Menurut pendapat Imam Khomeyni, tafsir irfani berbeda dengan tafsir bil-ra’i, keduanya berada dibidang yang berbeda. Beliau juga berkeyakinan bahwa risalah-risalah besar para mufassir juga merupakan kasf dan penemuan dari rahasia-rahasia irfani.
0 comments:
Post a Comment