“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat (mauidhoh) dari Tuhanmu dan penyembuh atau obat bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada, dan petunjuk serta rahmad bagi orang-orang yang beriman"(QS. Yunus: 57).
Dalam suasana saat ini yang serba canggih, serba modern, kita seringkali jatuh bangun untuk merasakan serta mensyukuri atas rahmat yang Allah SWT berikan. Padahal kita diwajibkan oleh Allah SWT untuk menjalankan perintahnya serta menjauhi larangan-Nya, namun apa yang terjadi, kita masihlah jauh dari kesempurnaan seperti Nabi Muhammad SAW memberikan contoh serta mewariskan Al-Qur’an & Al-hadits pada kita semua agar menjadi petunjuk bagi kita khoiru ummah.
"Ingatlah, bahwa orang-orang sebelum kamu dari Ahlul-Kitab (Yahudi dan Nasrani) telah terpecah belah menjadi 72 sekte (aliran), dan bahwa ajaran (Islam) ini akan terpecah-belah menjadi 73 sekte (aliran), yang 72 akan masuk neraka dan yang satu akan masuk surga, ia adalah al-Jamâ'ah (kelompok mayoritas). (HR Abu Daud dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan).
Melihat firman Allah SWT dan sabda Rosulullah diatas, kita hendaknya mawas diri tentang adanya aliran-aliran yang berkembang saat ini. Seperti yang sekarang kita sering dengar dari aliran ahmadiyah hingga sekarang jam’iyah islamiyah tak lupa pula yang sekarang ada di India, diberitakan bahwa munculnya Syeh Baba yang mampu mengeluarkan air dari jarinya. Apakah semua itu kita percaya dan kita ikuti ajaran-ajarannya? Dalam edisi kali ini, mari kita bahas lebih lanjut tentang banyaknya aliran-aliran di era modern.Kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi dewasa ini, masalah hakikat manusia dan kehidupan semakin santer dibahas. Masalah ini memang cukup penting, karena ia merupakan titik tolak dalam memberikan batasan menyangkut fungsi manusia dalam kehidupan ini. Dari hasil pembatasan itu, kemudian di susun prinsip-prinsip dasar meyangkut segala aspek kehidupan manusia yang multi dimensional, baik menyangkut tatanan politik, sistem ekonomi, sosial, budaya dan bahkan etika. Dalam arti lain bahwa bentuk dan sistem aspek-aspek kehidupan tersebut harus ditentukan oleh pengertian tentang “hakikat manusia itu sendiri”. Jika tidak demikian maka dapat dipastikan sistem-sistem itu akan segera runtuh dan gagal.
Manusia sebagai hamba Alloh adalah satu-satunya makhluk yang paling istimewa di antara semua makhluk – Nya yang lain. Disamping dikaruniai akal dan fikiran, manusia ternyata adalah makhluk yang penuh “Misteri” dan rahasia-rahasia yang menarik untuk dikaji. Misteri itu justeru sengaja dibuat Alloh agar manusia memiliki rasa antusias yang tinggi untuk menguak dan mendalami keberadaan dirinya sebagai ciptaan Allah Swt; untuk kemudian mengenali siapa penciptanya.
Syaikh Ahmad Bin Ruslan Al -Syafi’i mengemukakan :
“Sesuatu yang paling awal diwajibkan atas manusia adalah “Ma’rifatulloh” mengenali Tuhannya dengan penuh keyakinan”.
Itulah sebabnya, ibadah seseorang baik ibadah wajib ataupun sunnah, tidak akan mungkin sah tanpa “ma’rifatulloh”. Dibalik itu, tujuan hidup yang utama bagi seseorang yang berakal adalah bertemu dengan Alloh (Liqaaulloh) di hari pembalasan nanti.
Allah SWT. berfirman dalam QS. Yunus: 57 :
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat (mauidhoh) dari Tuhanmu dan penyembuh atau obat bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada, dan petunjuk serta rahmad bagi orang-orang yang beriman".
Ayat ini dalam Tafsir Ruhul Ma’ani di interpretasikan sebagai jenjang-jenjang kesempurnaan pada jiwa manusia. Barang siapa yang berpegang teguh dengan Al Qur’an – sebagai mauidhoh – secara utuh dan tidak parsial, maka ia akan memperoleh seluruh tingkatan kesempurnaan tersebut. Lebih jauh lagi, Imam Junaidi menafsirkan ayat tersebut sebagai landasan filosofis atas munculnya klasifikasi ‘syari’at, thariqaat dan ma’rifat’. Dari kalimat “Mau’idhah” yang mengandung nasihat-nasihat untuk meninggalkan segala yang dilarang dan menjalankan perintah-perintah Allah, maka lahirlah syari’at yang kemudian berisi pula anjuran-anjuran untuk membersihkan akhlak al madzmumah (perilaku/etika tidak baik) yang dapat dilihat orang.
Sedangkan lafadz “Syifaa’un lima fi al shudur” memuat segala bentuk usaha penyembuhan penyakit-penyakit rohani sehingga seorang manusia dapat mencapai strata kesempurnaan dalam pembersihan hatinya dari aqidah-aqidah yang sesat dan tabi’at-tabi’at yang hina dan tercela. Dan ini merupakan kerangka filosofis munculnya klasifikasi thariqat. Sementara kalimat “wahudan” mengisyaratkan kesempurnaan yang lebih tinggi lagi, yakni strata haqiqat yang hanya mungkin dicapai oleh manusia lewat hidayah yang diberikan oleh Allah. Adapun kalimat “Wa rahmatan lil ‘alamin” memberi dalil akan tercapainya kesempurnaan yang paling tinggi yaitu ma’rifat, bahwa seseorang telah meraih “Tajalla anwar al-uluhiyyah” atau terpancarnya cahaya ketuhanan yang abadi. Dengan cahaya ketuhanan inilah seseorang dapat memiliki pengaruh positif terhadap mu’min yang lainnya.
Melihat pernyatan-pernyataan diatas tadi, baru kita menelusuri lebih mendalam tentang hadits Nabi SAW bahwa Islam akan terpecah menjadi 72 golongan. Siapa sebenarnya kelompok yang disinggung oleh Rasulullah SAW dengan kata-kata "al-Jama'ah" di atas memang tidak serta-merta mudah diidentifikasi. Sebab setiap kelompok pasti akan mengusung argumen yang berbeda dalam rangka menguatkan klaimnya sendiri-sendiri. Atau dengan kata lain, siapa kira-kira kelompok yang identik dengan nilai-nilai salafush-shalih? Tentu tidak mudah menjawabnya, sebab kata "al-Jamâ'ah" memang relatif general sifatnya.
Jika sejak 14 abad silam Rasulullah SAW jauh telah memperingatkan kita akan munculnya perselisihan (paham) di antara sesama umat Islam, lantas beliau menekankan agar umat ini berpegang teguh pada sunnah-nya dan sunnah para khalifah penggantinya (al-khulafâ'ur- râsyidîn), maka itu bisa kita jadikan parameter identifikasi, apakah suatu kelompok aliran itu masuk kategori al-Jama'ah atau tidak. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya siapa di antara kamu yang hidup sepeninggalku maka akan melihat perselisihan yang banyak, maka kamu harus berpegang pada sunnahku dan sunnah para khalifah-Ku yang diberi petunjuk dan memberi petunjuk, berpeganglah padanya dan gigitlah ia dengan gigimu erat-erat." (HR Abu Daud dari Abdurrahman bin Amr)
Di era modern ini fenomena perbedaan aliran itu tidak jarang memunculkan tindakan-tindakan saling singgung dan saling klaim antara satu dengan yang lain. Statement semisal pengkafiran oleh kelompok tertentu (dalam Islam) terhadap kelompok Islam lainnya menjadi hal yang sarat kita temukan. Pernyataan-pernyataan yang sebenarnya tidak perlu muncul itu menjadi senjata lumrah kelompok tertentu untuk mencari legitimasi di tengah kebodohan sosial yang ada. Dan bahkan untuk kepentingan yang lebih bertendensi kekuasaan dan duniawi.
Sebut saja kelompok Wahabi yang selama ini kita kenal tekstual sentris dan radikal (keras) dalam menyikapi kehidupan beragama itu. Kelompok ini tidak sungkan-sungkan mengkafirkan kelompok Muslim lain di luar kalangan mereka. Berbagai dalil dari al-Qur'an maupun Hadits mereka usung untuk mengukuhkan perspektif mereka. Namun sayangnya, jika kita kaji pola pemikiran kelompok ini, ternyata mereka tidak benar-benar memahami pada dalil yang mereka usung itu. Bentuk ketidak pahaman itu bisa kita simak dari inkonsistensi mereka dalam memahami teks-teks al-Qur'an maupun Hadis ketika diselaraskan dengan konteks-konteks yang ada.
Misalnya, bagaimana mereka bisa menolak ijtihâd (upaya perumusan hukum) para sahabat Nabi dan mujtahidin, sementara mereka juga melakukan hal yang sama dengan selera pola pikir mereka. Bagaimana mereka berkeyakinan bahwa Allah SWT adalah Zat semacam materi yang membutuhkan ruang dan waktu, sementara para Salaf tidak pernah mengatakan hal itu. Bagaimana mereka mengingkari eksistensi ijma' ulama yang sudah jelas-jelas dikukuhkan oleh hadits-hadits sahih. Bagaimana mereka bisa mencampakkan logika dengan hanya bersandar pada zhahir-nya ayat al-Qur'an, sementara tidak sedikit ayat al-Qur'an dan Hadis yang memberikan ruang bagi akal untuk berperan dalam merespon urusan agama dan lainnya. Sudah maklum dalam perspektif ulama Salaf bahwa agama adalah rasional, logis dan humanis.
Bagaimana kelompok ini bisa menafikan qiyas, sementara ulama Salaf telah mempraktikkan hal itu dalam konteks beragama karena adanya dukungan ayat-ayat al-Qur'an. Bagaimana persoalan umat akan terespon semuanya jika tidak ada metode qiyas yang justru banyak meng-cover berbagai persoalan yang terus berkembang saat ini? Bagaimana pula mereka bisa mengkafirkan orang-orang yang mengikuti pendapat para imam mujtahid yang kompeten dalam masalah agama itu? Padahal Allah menegaskan dengan firman-Nya:
"Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui" (QS. Al-Anbiya': 7).
Jika kita melakukan kajian tentang Islam maka tak jarang kita temukan kata "salaf" dan "khalaf" sering dipakai dalam mengkategorikan sebuah literatur (teks), perilaku hingga ideologi (ajaran). Kita tidak akan membicarakan kedua kata tersebut secara detail, ketika kita singgungkan dua kata tersebut dengan epistimologi yang kerap dipakai dalam literatur Islam, maka akan mengerucut pada pengertian yang sangat substantif dan amat urgen bagi perspektif umat Islam.
Sudah maklum di kalangan pengkaji Islam bahwa kata "salaf" identik dengan era Nabi Muhammad SAW dan para Sahabatnya atau beberapa generasi ulama setelahnya. Atau bahkan kata "salaf" diartikan sebagai suatu kategori ajaran lurus alias tidak menyimpang dari sunnah Nabi dan para sahabatnya. Pengertian ini bahkan telah menjadi sebuah identitas dalam menjalani kehidupan beragama bagi umat Islam. Jika tidak bercirikan ke-salaf-an sebagaimana dimaksud, maka suatu ajaran bisa dipastikan telah menyimpang dari koridor sunnah Nabi Muhammad SAW alias bid'ah.
Hal itu wajar saja, sebab Islam memang telah mengajarkan sterilisasi dalam hal penerapan ajaran agama dari kontaminasi- kontaminasi yang sama sekali tidak bersumber dari agama itu sendiri.. Dan pada faktanya, sepeninggal Nabi SAW, umat Islam didera berbagai ujian berat berupa konflik internal yang bahkan membawa kooptasi intern di tubuh kaum muslimin. Persoalan kerentanan konflik itu lebih parah lagi ketika bercampur aduk dengan fenomena perebutan kekuasaan yang begitu rancu..
Perbedaan itu bahkan terbawa pada ranah-ranah yang amat prinsipil, sehingga menyulut perbedaan pespektif yang berdampak pada keyakinan dan perilaku dalam kehidupan beragama. Perbedaan aliran tersebut kian lama kian berkembang dan mengakar di kalangan pengikutnya. Dan itulah problem kerentanan dan perpecahan yang mendera umat Islam sejak era khalifah Utsman bin Affan hingga di zaman modern kini.
Dengan demikian, “aliran-aliran yang berkembang diera modern ini” serta segala komponen ajarannya perlulah & wajib kita pelajari lebih dalam dan tentunya tak lepas dari majlis-majlis ta’lim, pondok pesantren, atau sepertinya yang ada di sekitar kita. Dengan ini pula, mudah-mudahan seluruh konsep yang ditawarkan banyaknya aliran mampu kita telaah dan dapat mengurangi kecenderungan kita dari sikap pola hidup konsumtif, matrealis, dan individualis yang semakin menggejala ditengah dunia modern ini. Marilah kita senantiasa bermohon kepada Allah, ketika zaman telah benar-benar menghadirkan keresahan dan kebingungan, mudah-mudahan Allah SWT. tetap membimbing kita, melimpahkan Taufiq dan istiqomah dalam memegangi syari’at, sehingga terwujud kedamaian dan ketentraman hidup menuju Sa’adatud Daraini Amin 3X Yaa Rabbal Alamin.........
0 comments:
Post a Comment